Riza Marlon, Literasi, dan Konservasi di Indonesia

Muhamad Rifki Ramadhan
5 min readAug 20, 2017

--

Tanggal 9 Agustus 2017, saya dan tiga teman saya berkunjung ke rumah Riza Marlon di Bogor. Kami berkunjung dalam rangka meminta saran dan konsultasi mengenai acara pameran yang akan kami lakukan. Awalnya kami mendapatkan saran untuk mengunjungi beliau dari teman kami yang sedang kerja praktik di The Nature Conservacy.

Riza Marlon adalah fotografer alam liar pertama Indonesia. Beliau telah mengunjungi berbagai tempat dan mendokumentasikan berbagai hewan eksotis Indonesia. Riza Marlon telah mempublikasikan hasil karyanya dalam berbagai pameran dan telah menerbitkan beberapa buku. Foto karya Riza Marlon juga telah digunakan oleh berbagai NGO internasional, seperti World Wild Fund (WWF), The Nature Conservacy (TNC), dan Wlidlife Conservation Society (WCS).

Saat kami datang, kami disambut hujan lebat yang sudah cukup lama tidak menimpa kota Bogor. Kami pun datang berbasah-basahan dengan menenteng alas kaki. Kami disambut dan dipersilakan masuk oleh Om Riza Marlon (akrab dipanggil Om Caca) dan istrinya, Tante Wita.

Rumah Om Caca sangat nyaman dan rapi, dengan halaman yang dipenuhi tanaman. Ruang tamu dipenuhi pajangan dan ukiran berbagai jenis hewan. Hampir di setiap dinding, terdapat foto-foto hasil karya Om Caca. Foto-foto tersebut merupakan sisa pameran, kata beliau. Di ruang tamu itu terdapat foto tarsius yang melompat, kakaktua, julang sulawesi, dan beberapa jenis ular dan burung lainnya. Eksotis.

Awalnya kami bercerita tentang rencana pameran kami. Om Caca dan Tante Wita memberikan saran-saran berdasarkan pengalaman mereka mengadakan pameran. Obrolan itu tidak berjalan lama. Setelahnya, Om Caca banyak bercerita tentang pengalaman hidupnya, tentang menjadi fotografer alam liar Indonesia pertama, tentang kenyataan literasi masyarakat Indonesia, dan tentang keadaan dunia konservasi Indonesia.

Om Caca menjadi fotografer sejak masa kuliah. Beliau menjadi fotografer alam liar karena kecintaannya pada hewan. Awalnya Om Caca tidak mempunyai kamera atau alat sama sekali. Beliau menjadi fotografer dengan bermodal meminjam kamera dan alat ke sana sini, sampai akhirnya memiliki kamera dan alat sendiri satu per satu. Om Caca sempat menjadi fotografer komersial. Walaupun mendapatkan keuntungan yang lebih cepat, beliau berhenti karena merasa bukan passion-nya.

Om Caca juga bercerita tentang fotografer alam liar di Indonesia. Kata beliau, yang kurang dari fotografer Indonesia adalah dalam hal menyimpan dan mengarsipkan file foto.

“Kemampuan untuk memotret, untuk mendapatkan gambar yang bagus adalah satu hal. Tapi kemampuan untuk mendokumentasikan, mengarsipkan, menyimpan, adalah hal yang lain. Kebanyakan fotografer Indonesia sudah bagus dalam hal memotret, tapi tidak pintar dalam hal menyimpan. Misalnya file foto hanya disimpan di laptop. Kalo laptopnya hilang ya hilang semua file-nya. Hilang semua hasil yang sudah pernah didapat.”

Om Caca bercerita tentang kebiasaan literasi Indonesia yang buruk. Berbeda dengan warga negara maju yang memiliki kebiasaan membaca yang tinggi, kebiasaan membaca masyarakat Indonesia sangat rendah. Hal ini juga berpengaruh pada kebiasaan menulis masyarakat, karena pada dasarnya kebiasaan menulis muncul dari kebiasaan membaca. Itulah mengapa sangat sedikit literatur dari Indonesia, terutama dalam ilmu biologi.

“Indonesia ini ketinggalan berpuluh-puluh tahun dari negara barat. Negara-negara barat sudah terbiasa menulis. Terbiasa nulis catatan perjalanan. Coba ingat Alfred Russel Wallace. Dia itu bukan saintis, tapi pedagang spesimen. Tapi dia bisa menemukan teori evolusi, dan tulisannya menjadi rujukan banyak orang, karena dia rajin menulis. Dia mendokumentasikan semua catatan perjalanannya, semua hal yang dia temukan. Sekarang orang barat sudah melakukan dokumentasi dengan foto-foto, video, sampai film 3 dimensi. Sementara orang Indonesia, kebiasaan menulisnya aja payah. Kita tidak terbiasa untuk menulis. Kita tidak terbiasa untuk mendokumentasikan sesuatu.”

“Hewan-hewan di Indonesia itu banyak, tapi buku-buku identifikasi hewan yang bikin hampir orang luar semua. Buku identifikasi ular, dibuat tahun 80-an, masih dipake sampe sekarang. Padahal itu gambarnya masih hitam putih, masih banyak pake ilustrasi. Kenapa kita ngga bikin lagi aja, dengan foto-foto terbaru yang lebih bagus. Itulah kenapa saya bikin buku ular itu. Kemana ini orang-orang yang harusnya bikin buku-buku acuan seperti ini. Saya ke LIPI, katanya mereka ga bikin. Padahal sebagai lembaga penelitian nasional mereka seharusnya bikin. Saya bingung harus minta siapa lagi yang bikin. Kita ngaku-ngaku negara kaya, banyak sumber daya, banyak biodiversitas, ngapain. Percuma kalo kita ngga ngapa-ngapain. Sekedar mendokumentasikan kekayaan kita aja ngga kita lakukan.”

Berdasarkan kenyataan itu, Om Caca mendorong berbagai komunitas untuk ikut membuat buku. Banyak buku kecil-kecilan yang dibuat oleh berbagai komunitas dengan bimbingan dan dorongan Om Caca, seperti buku burung di suatu kota, buku capung di suatu daerah, dan sebagainya.

Om Caca juga mendorong kita untuk terjun ke alam dan mendokumentasikan kekayaan hayati Indonesia.

“Coba ubah pola pikir kalian, jangan “nanti aja kalo udah kaya, nanti aja kalo alat udah lengkap”, karena semua tempat itu ga ada yang membaik. Saya sering datang ke suatu tempat setelah beberapa tahun, dan udah berubah semua, hewannya udah ngga ada, lingkungannya udah rusak. Bergeraklah sekarang. Kalo belum ada alat bisa minjem. Walaupun ga ada uang, berangkat aja dulu, nanti juga ada jalan kok. Kalo kamu nunggu-nunggu, keburu punah itu hewan-hewan. Keburu cuma jadi cerita-cerita di mulut. Kalau kita bisa bergerak, seenggaknya bukan cuma jadi cerita di mulut, tapi terdokumentasikan dalam foto dan tulisan.”

Terakhir, Om Caca bercerita tentang mirisnya keadaan pengelola konservasi di Indonesia.

“Saya sih udah capek ngomong sama pemerintah, sama taman nasional. Percuma. Coba liat TNUK (Taman Nasional Ujung Kulon). Dari dulu begitu-begitu aja. Dari tahun 80-an ngga ada yang berubah. Yaudahlah, sekarang mah yang penting mereka ga ganggu urusan saya, saya ga ganggu urusan mereka. Saya fokus ngambil gambar aja. Inilah yang bisa saya lakukan. Seenggaknya saya bisa memonumenkan hewan-hewan itu dalam bentuk foto.”

Sebenarnya masih banyak lagi yang kami obrolkan sore itu yang tidak bisa saya sampaikan di sini. Om Caca juga menunjukkan banyak foto-foto dan buku-buku hasil karyanya. Semuanya memang tersimpan dengan rapi. Bahkan beliau masih menyimpan foto-foto karyanya ketika masih kuliah tahun 80-an. Terakhir, kami makan malam dengan bubur ayam yang hangat. Sungguh nikmat dalam suasana setelah hujan itu.

Obrolan sore itu merupakan obrolan yang sangat informatif dan membuka sudut pandang baru bagi saya. Saya tidak pernah setergugah itu ketika berbicara tentang konservasi. Saya menggarisbawahi dua hal dalam obrolan itu.

Yang pertama, kebudayaan literasi di Indonesia. Memang seperti itulah kenyataannya. Kita memang harus meningkatkan budaya membaca dan menulis kita. Mari kita mulai dari diri masing-masing, lalu menularkannya ke orang-orang di sekitar kita. Saya juga bukan orang yang terbiasa membaca apalagi menulis, dan tulisan ini merupakan usaha saya dalam mengubah itu. Bagaimana kita mau berkembang jika kita tidak biasa membaca. Bagaimana kita mau mendokumentasikan kekayaan alam Indonesia jika kita tidak terbiasa menulis.

Yang kedua, keadaan konservasi alam Indonesia memang kurang baik. Saya mengerti apa yang dimaksud Om Caca, karena saya juga pernah mengunjungi beberapa taman nasional di Indonesia. Keadaannya memang begitu, tidak banyak peningkatan dari keadaan yang diceritakan Om Caca tahun 80-an. Sudah merupakan tanggung jawab kita untuk melestarikan kekayaan alam di Indonesia. Mungkin kita dapat membantu dengan melaksanakan riset, mengadvokasi para pembuat kebijakan, atau sekedar meningkatkan awareness orang-orang di sekitar kita tentang konservasi. Jangan sampai kekayaan hayati eksotis ini hanya menjadi sejarah saja, apalagi sejarah yang tak terdokumentasi.

--

--

No responses yet